PENGARUH FAKTOR FISIK TERHADAP LINGKUNGAN PERAIRAN DAN KEHIDUPAN ORGANISME :
1) Temperatur Air
Temperatur juga merupakan salah-satu faktor pembatas terhadap ikan-ikan air tawar. Umumnya ikan mempunyai kisaran temperatur yang optimum untuk pertumbuhannya. Bila terjadi perubahan temperatur yang cukup drastis maka ikan tersebut akan mati, atau kalau masih bisa bertahan hidup maka organ-organ dalam tubuh tertentu tidak dapat berfungsi. Misalnya temperatur normal untuk pertumbuhan Ikan Nila Merah dan Gurami berkisar antara 24 -280C. Nila Merah masih dapat bertahan hidup pada kisaran temperatur antara 14 – 380C, namun bila temperatur perairan <>0C atau > 420C akan mati. Sedangkan pada Ikan Gurami bila temperatur perairan <150C ikan tersebut masih dapat hidup namun tidak dapat berkembang biak (Nirarita dkk, 1996).
Temperatur merupakan derajat panas atau dinginnya air yang diukur pada sekala definit seperti derajat celsius (oC) atau derajat Fahrenheit (oF). Temperatur air merupakan regulator utama proses-proses alamiah di dalam lingkungan akuatik. Ia dapat mengendalikan fungsi fisiologis organisme dan berperan secara langsung atau tidak langsung bersama dengan komponen kualitas air lainnya mempengaruhi kualitas akuatik. Temperatur air mengendalikan spawning dan hatching, mengendalikan aktivitas, memacu atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan; dapat menyebabkan kematian kalau air menjadi panas atau dingin sekali secara mendadak. Air yang lebih dingin lazimnya menghambat perkembangan; air yang lebih panas umumnya mempercepat aktivitas. Temperatur air juga mempengaruhi berbagai macam reaksi fisika dan kimiawi di dalam lingkungan akuatik.
2) Salinitas
Umumnya ikan-ikan air tawar mempunyai kemampuan toleransi terhadap salinitas yang sangat rendah. Walaupun demikian ada juga jenis-jenis ikan air tawar tertentu yang mempunyai kemampuan toleransi terhadap salinitas yang cukup besar (Nirarita dkk, 1996). Misalnya Ikan Gurami dapat hidup pada perairan dengan salinitas mencapai 7 ppt. Tawes dapat hidup pada perairan dengan salinitas mencapai 10 ppt. Sedangkan Belut dan Sidat pada saat memijah akan menuju ke lautan bebas pada kedalaman antara 5600 – 6000 m, kemudian memijah pada kedalaman laut tersebut.
3) pH (Kadar Keasaman)
pH suatu larutan mencerminkan aktivitas kation hidrogennya, dan dinyatakan sebagai logaritma negatif dari aktivitas kation hidrogen dalam mole per liter pada temperatur tertentu. Istilah pH lazimnya digunakan untuk menyatakan intensitas kondisi asam atau alkalin suatu larutan. Kalau pH antara 1 dan 7, ini merupakan kisaran asam, dan kisaran alkalin adalah pH 7 - 14. pH air permukaan biasanya berkisar antara 6.5 - 9.0.
Kualitas air yang ada, ditinjau dari nilai pH, harus dideskripsikan untuk suatu kawasan proyek. Perhatian harus diberikan kepada variasi pH-perairan secara musiman akibat peristiwa alamiah ataupun karena aktivitas manusia.
4) Turbiditas
Turbiditas merupakan suatu ukuran yang menyatakan sampai seberapa jauh cahaya mampu menembus air , dimana cahaya yang menembus air akan mengalami “pemantulan” oleh bahan-bahan tersuspensi dan bahan koloidal. Satuannya adalah Jackson Turbidity Unit (JTU), dimana 1 JTU sama dengan turbiditas yang disebabkan oleh 1 mg/l SiO2 dalam air. Dalam danau atau perairan lainnya yang relatif tenang, turbiditas terutama disebabkan oleh bahan koloidan dan bahan-bahan hakus yang terdispersi dalam air. Dalam sungai yang mengalir, turbiditas terutama disebabkan oleh bahan-bahan kasar yang terdispersi. Turbiditas penting bagi kualitas air permukaan, terutama berkenaan dengan pertimbangan estetika, daya filter, dan disinfeksi. Pada umumnya kalau turbiditas meningkat, nilai estetika menurun, filtrasi air lebih sulit dan mahal, dan efektivitas desinfeksi berkurang. Turbiditas dalam perairan mungkin terjadi karena material alamiah, atau akibat aktivitas proyek, pembuangan limbah, dan operasi pengerukan.
5) Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut mungkin merupakan parameter kualitas air yang paling umum digunakan. Kelarutan oksigen atmosfer dalam air segar/tawar berkisar dari 14.6 mg/liter pada temperatur 0oC hingga 7.1 mg/liter pada temperatur 35oC pada tekanan satu atmosfer. Rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air berpengaruh buruk terhadap kehidupan ikan dan kehidupan akuatik lainnya, dan kalau tidak ada sama sekali oksigen terlarut mengakibatkan munculnya kondisi anaerobik dengan bau busuk dan permasalahan estetika.
Kebutuhan oksigen ikan beragam dengan spesies dan umur ikan. Ikan air dingin membutuhkan lebih banyak oksigen terlarut daripada ikan lainnya (seperti carp dan pike), mungkin karena jenis ikan yang pertama lebih aktif dan predator. Kisaran antara 3 - 6 mg/liter merupakan tingkat kritis DO untuk hampir semua jenis ikan. Di bawah 3 mg/liter, penurunan lebih lanjut hanya penting dalam kaitannya dengan munculnya kondisi anaerobik lokal; kerusakan utama terhadap ikan dan kehidupan akuatik lainnya telah terjadi pada kondisi seperti ini. Di atas 6 mg/liter, keuntungan utama dari penambahan oksigen terlarut adalah sebagai cadangan atau penyangga untuk menghadapi “shock load” buangan limbah yang membutuhkan banyak oksigen.
6) BOD
BOD didefinisikan sebagai jumlah oksigen (mg/l) yang diperlukan oleh bakteri untuk mendekomposisikan bahan organik (hingga stabil) pada kondisi aerobik. Kondisi uji yang tipikal adalah inkubasi lima hari pada temperatur 20oC. Karena BOD merupakan ukuran tidak langsung dari jumlah bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis, maka ini dapat menjadi indikator jumlah oksigen terlarut yang akan digunakan (hilang dari air) selama asimilasi biologis polutan organik secara alamiah. Uji BOD merupakan salah satu uji yang lazim digunakan dalam evaluasi kualitas air.
REFERENSI :
Boyd, C. E. 1991. Water quality management and aeration in shrimp farming. Proyek Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Rubijanto, M. 2004.Patologi Ikan Teleostei. Purwokerto ; Jawa Timur.
No comments:
Post a Comment