Friday, October 28, 2011

Love is study: KEPITING BAKAU

Love is study: KEPITING BAKAU
Siklus Hidup Kepiting Bakau

KEPITING BAKAU

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau Scylla serrata

2.1.1. Klasifikasi Kepiting Bakau Scylla serrata

Kepiting bakau atau sering disebut kepiting lumpur merupakan organisme perairan estuari khususnya ekosistem mangrove.

Gambar. 1. Kepiting bakau Scylla serrata

(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

Klasifikasi kepiting bakau (Keenan, 1999) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Mandibulata

Class : Crustacea

Subclass : Malacostraca

Order : Decapoda

Subordo : Pleocyemata

Infraorder : Brachyura

Superfamily : Portunoidea

Family : Portunidae

Genus : Scylla

Species : Scylla serrata

2.1.2. Morfologi Kepiting Bakau Scylla serrata

Menurut Keenan et al. 1998, telah memastikan bahwa ada empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, S.tranquebarica, S. paramamosain, dan S. olivacea. Hal ini didasarkan pada hasil investigasi genetika yakni DNA. Kepiting bakau S. serrata sendiri dapat dibedakan dari tiga jenis lainnya berdasarkan morfologi. Morfologi yang dimaksudkan yakni bentuk duri baik pada karapaks maupun pada bagian capitnya serta warna dominan pada tubuhnya. Kepiting bakau memiliki duri relatif pendek dibandingkan dua spesies lainnya dan warna kemerahan hingga oranye terutama pada capit dan kakinya, sedangkan pada jenis lain yang dominan adalah warna ungu pucat atau kehitaman (Kordi,2007).

Kepiting bakau tergolong dalam klas Crustacea dan ordo Decapoda. Crustacea merupakan hewan berkulit keras sehingga pertumbuhannya dicirikan oleh proses pergantian kulit (moulting). Decapoda ditandai oleh adanya 10 buah (lima pasang) kaki, pasangan kaki pertama disebut capit yang berperan sebagai alat pemegang/penangkap makanan, pasangan kaki kelima berbentuk seperti kipas (pipih) berfungsi sebagai kaki renang dan pasangan kaki lainnya sebagai kaki jalan. Kepiting menggunakan capit dan kaki jalan untuk berlari cepat di darat dan berbekal kaki renang dapat berenang dengan cepat di air, sehingga tergolong pula dalam kepiting perenang (swimming crab). Genus Scylla ditandai oleh bentuk karapaks (carapace) yang oval dengan bagian depan memiliki sembilan duri pada sisi kiri dan kanan, serta enam duri di antara kedua matanya (Gambar. 1).

2.2. Siklus Hidup Kepiting Bakau S. serrata

Kepiting bakau di alam melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan berimigrasi ke perairan laut atau menjauh dari pantai, untuk mencari perairan yang parameter lingkungannya (terutama suhu dan salinitas perairan) cocok, sebagai tempat memijah, sedangkan kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada diperairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove (Fujaya, 2004).

Setelah itu, induk kepiting betina berimigrasi ke pantai sambil membawa telur-telur terbuahi yang dilekatkan di pleopod dan akan menetas dalam beberapa minggu. Setelah telur menetas di perairan laut, masuk pada stadia larva tingkat I (zoea I) yang akan terus berganti kulit (moulting), kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai stadia zoea V (pascalarva), kurang lebih 18 hari. Selanjutnya stadia zoea V akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa (11-12 hari), yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, kecuali masih memiliki bagian ekor. Kemudian memasuki stadia juvenil yang disebut juga stadia kepiting muda, karena sudah berbentuk kepiting dengan organ tubuhnya yang lengkap (Soim, 1994).

Dari tingkat megalopa ke kepiting muda memerlukan waktu sekitar 15 hari. Menurut Siahainenia (2008), Kepiting bakau muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuari, kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Menurut Juwana (2006), dalam pertumbuhannya kepiting dewasa melakukan pergantian kulit (moulting) sebanyak 17-20 kali bergantung pada kondisi lingkungan dan ketersedian makanan. Kepiting mampu bertahan hidup selama 2-3 tahun. Lebih jelasnya siklus hidup kepiting bakau disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Sihainenia, 2008)

2.3. Pemilihan Lokasi dan Parameter Kualitas Air

Sumber air yang cocok bagi kepiting bakau adalah air payau dan air asin, karena kepiting adalah penghuni daerah pantai. Kadar garam yang dapat memberikan produksi tinggi berkisar antara 15-30 promil, meskipun kepiting masih bisa hidup di bawah 15 promil dan di atas 30 promil. Keadaan ini didasarkan pada daur hidup kepiting.

Salinitas dan suhu sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme laut dan estuaria (muara sungai), di samping makanan (Kasry, 1996). Pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap kehidupan kepiting belum begitu banyak diketahui. Suhu yang sesuai untuk kepiting berkisar antara 23-32oC dengan perubahan suhu yang tidak terjadi secara mendadak. Suhu air maksimal yang masih bisa ditolerir adalah sekitar 42,1oC. Pada suhu 42,1oC laju pertumbuhan kepiting sudah menurun, sedangkan suhu minimal yang sudah mulai mengganggu pertumbuhan adalah sekitar 20oC.

Selain suhu dan salinitas, pH juga turut mempengaruhi organisme yang dibudidayakan. Air laut mempunyai kemampuan menyangga yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat menimbulkan perubahan dan ketidakseimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan kehidupan biota laut. Perubahan pH dapat berakibat buruk terhadap biota laut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibat langsung adalah kematian organisme dan mengurangi produktivitas primer. Akibat tidak langsung adalah perubahan toksisitas zat-zat yang ada di dalam air, karena bila pH rendah atau bersifat asam, maka kelarutan unsur-unsur yang beracun seperti besi, aluminium, mangan, dan seng meningkat. Hal ini sangat membahayakan kehidupan kepiting. Tanah dasar perairan mangrove juga dapat mempengaruhi kualitas air. Tanah yang terlalu banyak mengandung timbunan bahan organik tidak baik untuk budidaya. Bahan organik yang berlebih mengakibatkan bakteri aerob untuk mendekomposisi bahan organik. Bakteri aerob tersebut sangat memerlukan oksigen dalam proses dekomposisi.

Tabel 1. Beberapa nilai parameter kualitas air yang dapat ditolerir kepiting bakau

No

Parameter Kualitas Air

Nilai

Satuan

1

Suhu

27-30

oC

2

Salinitas

25-34

Ppt

3

pH

7-8,5

-

4

Oxygen

3,5-6

Ppm

5

Kecerahan

30-60

Ppm

6

Amoniak

< 0,5

Ppm

7

Nitrit

< 0,05

Ppm

Sumber: Syaripudin (2004)


2.4. Pakan dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau

Kepiting tergolong hewan pemakan segala (omnivora) dan pemakan bangkai (scavenger), sedangkan larva kepiting adalah pemakan plankton. Kepiting digolongkan hewan nokturnal, karena mencari makan di malam hari (Afrianto dan Liviawaty, 1992). Kepiting bakau lebih suka merangkak mencari makan, walaupun kepiting dapat berenang ke permukaan air. Kepiting lebih menyukai makanan alami berupa alga, bangkai hewan, dan udang-udangan.

Jenis pakan alami yang disukai kepiting antara lain: Chlorella, ikan-ikan kecil, anak udang, jenis-jenis kutu air yang berukuran kecil, jenis-jenis krustasea berukuran kecil, partikel-partikel halus di dalam air atau di dasar perairan juga tanaman air yang hancur. Kepiting juga memakan partikel detritus yang ditemukan dalam lumpur. Umumnya, mereka memisahkan partikel detritus dari benda organik dengan menyaring substrat melalui sekumpulan rambut di sekeliling mulutnya.

Jenis pakan yang dapat diberikan untuk pembesaran kepiting bakau antara lain : ikan segar, ikan kering air tawar, usus ayam, kulit sapi/kambing, bekicot, keong sawah, kepiting dan daging ular. Jenis pakan yang baik untuk calon induk sedikit berbeda dengan pakan untuk pembesaran kepiting biasa. Juga dapat diberikan pakan buatan yang diramu sendiri, dengan tujuan untuk pembesaran kepiting (Muskar, 2006).

2.5. Budidaya Kepiting Bakau

Melihat potensi alam yang dimiliki, prospek kepiting sebagai komoditas ekspor yang menjanjikan, serta teknologi budidaya yang sederhana, maka sudah selayaknya komoditas ini mendapat perhatian lebih dari berbagai kalangan. Bukan saja dari pelaku budidaya itu sendiri, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah peranan pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, penyediaan infrastruktur yang memadai, kebijakan perpajakan dan retribusi yang tidak membebani pengusaha, dan penyediaan SDM yang handal. Juga pihak perbankan dalam kapasitasnya sebagai penyedia modal usaha, dan perguruan tinggi sebagai penyedia teknologi (Muskar, 2006).

Budidaya kepiting terdiri atas pembesaran, penggemukan, produksi kepiting bertelur, dan kepiting lunak/soka. Pembesaran umumnya dilakukan didalam tambak baik dengan menggunakan atau tanpa pagar bambu atau waring, penggemukan dan produksi kepiting bertelur dilakukan dalam kurungan yang terbuat dari bambu atau dalam keramba apung, dan kepiting lunak dipelihara dalam keranjang yang ditempatkan dalam tambak (Muskar, 2006).

Secara umum, tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau yang dapat diamati adalah sebagai berikut (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2004):

1. Suka berendam dalam lumpur dan membuat lubang pada dinding atau pematang tambak pemeliharaan. Dengan mengetahui kebiasaan ini, maka kita dapat merencanakan atau mendesain tempat pemeliharaan sedemikian rupa agar kemungkinan lolosnya kepiting yang dipelihara sekecil mungkin.

2. Kanibalisme dan sifat menyerang, sifat inilah yang paling menyolok pada kepiting sehingga dapat merugikan usaha penanganan hidup dan budidayanya. Karena sifat yang saling menyerang ini akan menyebabkan kelulusan hidup rendah dan menurun produktivitas tambak. Sifat kanibalisme ini yang paling dominan ada pada kepiting jantan, oleh karena itu budidaya monoseks pada produksi kepiting akan memberikan kelangsungan hidup lebih baik.

3. Moulting atau ganti kulit. Sebagaimana hewan jenis krustasea, maka kepiting juga mempunyai sifat seperti krustasea lainnya, yaitu molting atau ganti kulit. Setiap terjadi ganti kulit, kepiting akan mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan ukuran karapaks maupun beratnya. Umumnya pergantian kulit akan terjadi sekitar 18 kali mulai dari stadium instar sampai dewasa. Selama proses ganti kulit, maka bagi kepiting dewasa yang mengalami pergantian kulit perlu tempat yang cukup luas.

4. Kepekaan terhadap polutan. Kualitas air sangat berpengaruh terhadap ketahanan hidup kepiting. Penurunan mutu air dapat terjadi karena kelebihan sisa pakan yang membusuk. Bila kondisi kepiting lemah, misalnya tidak cepat memberikan reaksi bila dipegang atau perutnya kosong bila dibelah, kemungkinan ini akibat dari menurunnya kualitas air.

Pengetahuan tentang tingkah laku dan kebiasaan kepiting bakau adalah penting sebelum melakukan suatu kegiatan budidaya, misalnya dapat diketahui desain/rancangan wadah budidaya yang tepat untuk masing-masing kegiatan budidaya kepiting, serta pemilihan lokasi yang tepat/sesuai kemampuan kepiting bakau untuk bertoleransi terhadap kualitas air

2.6. Perkembangan Tingkat Kematangan Ovari

Menurut Gunarto (1990) dalam Siahainenia (2008) berdasarkan tujuannya, budidaya kepiting bakau dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu;

1. Budidaya pembesaran, yaitu pemeliharaan kepiting dari tingkat benih (20-40g) sampai mencapai tingkat konsumsi,

2. Budidaya penggemukan, yaitu pemeliharaan kepiting bemkuran konsumsi tetapi masih kurus atau tidak berdaging agar menjadi kepiting gemuk dan

3. Budidaya pematangan gonad (ovari), yaitu pemeliharaan kepiting dewasa betina berukuran konsumsi yang belum matang gonad atau awal matang gonad agar menjadi kepiting yang matang gonad penuh (> 70%).

Berdasarkan hal tersebut maka dalam budidaya pematangan ovari perlu didasarkan pada tingkat matang ovari. Menurut Siahainenia (2008), Tingkat kematangan ovari kepiting bakau betina terdiri atas lima tahap yaitu tahap belum matang, matang, menjelang matang, matang sempurna dan salin. Pengukuran fase perkembangan ovari secara morfologi (makroskopis) dilakukan berdasarkan pengamatan sel-sel telur di bagian dorsolventral (dilihat melalui pertautan karapaks bawah dan ruas abdomen pertama) meliputi ukuran dan warna ovari (Pattiasina dan Loupatty, 2011).